RSS

Monthly Archives: September 2021

Ambilkan Bulan, Bu

Ambilkan bulan, Bu

Yang selalu bersinar di langit

Di langit bulan benderang

Cahyanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu

Untuk menerangi

Tidurku yang lelap

Di malam gelap

(Ciptaan A.T. Mahmud)

Sudah melongok ke angkasa kemarin malam? Tanggal 23 September di Jepang (biasanya memang tanggal 22/23 September setiap tahunnya) adalah Aki Higan 秋彼岸, bahasa Inggrisnya Equinox Day.

Higan 彼岸, adalah istilah dalam agama Buddha. Kanji Higan sendiri baru ditempelkan sesudahnya, tapi kata Higan sering diartikan sebagai “dunia lain atau surga”. Jadi dalam agama Buddha Higan dianggap sebagai masa/waktu untuk mendoakan arwah mereka yang sudah meninggal. Dikatakan waktu, karena jika Higan itu tanggal 23 September 2021), sebetulnya masa mendoakan itu dimulai sejak 3 hari sebelumnya (disebut Higan-iri) sampai 3 hari sesudahnya (disebut Higan-ake). Pada waktu ini, keluarga Jepang akan “nyekar” mengunjungi makam keluarga, dan mendoakan leluhurnya.

Biasanya makam keluarga itu berada dalam kompleks kuil. Begitu datang, ambil ember kayu dan cidukannya, mengisi air dan mulai membasuhi batu nisan. Tidak perlu lagi membersihkan makam dari rumput seperti di Indonesia, karena biasanya sudah bersih. Setelah memberikan air pada batu nisan, menghias makam dengan bunga (biasanya menaruh di jambangan yang ada di kiri-kanan nisan) dan memasang hio (dupa), keluarga akan mengatupkan kedua tangan untuk berdoa. Selain pergi ke makam, sebetulnya orang Jepang juga mempunyai altar leluhur di rumah masing-masing. Di situ diletakkan sesaji berupa kue manis berbentuk seruni (banyak dijual set kue atau buah khusus untuk Higan), atau Botamochi 牡丹餅 atau kadang juga disebut ohagi お萩. Botamochi dan Ohagi sama bentuk dan rasanya, hanya penamaannya saja yang berbeda. Botamochi untuk Higan musim semi, dan Ohagi untuk Higan musim gugur. Botamochi ini sejenis mochi yang ditutupi dengan tumbukan kacang merah (bisa kasar atau halus). Jadi kalau biasanya pasta kacang merahnya di dalam mochi, untuk Botamochi itu di luar. Rasanya? Enak dan manis 😃 seperti makan nasi ketan 😃

Biasanya kalau pergi nyekar pas pada hari Higan, jalanan akan macet dan bunga akan mahal (hhihihi kok seperti di negara kita ya? Eh tapi ini kalau beli di dalam kuilnya kok). Bertepatan dengan AkiHigan, biasanya juga ada yang disebut dengan Tsukimi 月見, harafiahnya “melihat bulan”. Tentu bukan melihat burger dengan telur ceploknya Mac Donald, tapi memang dipakai sebagai waktu untuk menikmati bulan yang memang cantik di musim gugur ini. Ternyata tidak selalu Tsukimi pas bulan purnama, bisa kurang sedikit, atau lebih sedikit. Nama kerennya 中秋の名月(ちゅうしゅうのめいげつ) Chushunomeigetsu, atau yang diingriskan sebagai Mid-Autumn. Kalau di Cina, Singapore, Taiwan banyak yang makan Moon Cake, tapi di Jepang biasanya makan Tsukimi Dango (bukan Tsukimi Burger ya hehehe). Sambil menikmati keindahan bulan, makan dango dan minum teh hijau (atau sake 😃 ).

Chushunomeigetsu ini juga disebut Malam ke 15 十五夜. Nah loh, 15nya dapat dari mana ya? Menurut penanggalan kuno, sebetulnya yang disebut musim gugur itu dari bulan Juli sampai September. Pertengahan musim gugur itu jadinya bulan Agustus, tepatnya tanggal 15 Agustus. Tapi penanggalan sekarang kira-kira terlambat 1 bulan, sehingga yang dinamanya 十五夜 itu adalah pertengahan September, waktu bulan purnama. Tapi ternyata dari survei selama ini, kesempatan kita melihat bulan jelas dan indah itu hanya 67%-an saja. Karena biasanya pada hari ke 15 十五夜 itu hujan. Karena garis curah hujan biasanya berada di atas kepulauan Jepang.

Sudah sejak dulu kala, orang Jepang memuja Bulan. Tapi baru sekitar abad ke 9 (Zaman Heian), bangsawan berkumpul minum sake sambil memandang bulan. Untuk masyarakat biasa, baru mulai zaman Edo (1600-) ikut menikmati bulan seperti kalangan istana. TAPI masyarakat biasa itu lebih memuja bulan dengan Tsukimi karena menjelang panen. Festival panen padi, sehingga mereka berkumpul sambil berharap semoga panen berhasil. Di beberapa daerah mulai memasang orang-orangan yang disebut kakashi 案山子. Pada acara tsukimi biasanya orang Jepang menghias dengan daun susuki yang seperti alang-alang. Rupanya ini menyerupai padi, sehingga dianggap bisa menghalau roh jahat.

Tsukimi dango, yaitu mochi bulat yang putih menyerupai bulan ini disusun menyerupai piramid. Jumlahnya 15 karena Malam yang ke 15. Dan mochi yang teratas dianggap menjadi jembatan dengan dunia lain. Selain tsukimi dango, susuki, biasanya di pertanian menghias dengan panenan ubi, chestnut dan edamame. Tapi terutama satoimo, karena sebetulnya nama lain dari chushunomeigetsu adalah 芋名月 imomeigetsu.

Nah, jika tidak bisa menikmati Malam ke 15, atau Tsukimi hari ini, sebetulnya kita juga bisa menikmati Malam ke 13 十三夜dan ke 10 十日夜. Loh, kan mestinya sudah lewat? Ternyata menurut perhitungan Malam ke 13 itu jatuh pada tanggal 18 Oktober 2021 dan Malam ke 14 jatuh pada tanggal 14 November 2021.

Tetapi memang bulan purnama di musim gugur dan dingin indah ya. Mungkin karena kita (mulai) merasa dingin, melankolis dan romantis. Yang menjadi pertanyaan sekarang, mengapa di bulannya orang Jepang terlihat bayangan kelinci yang sedang membuat mochi? Apakah kita orang Indonesia juga sama melihat ke bulan dan membayangkan kelinci? Berdasarkan survei lagi, ternyata yang melihat di bulan itu ada kelinci hanya di daerah Asia (Jepang, Cina, Korea), sedangkan daerah Eropa misalnya melihat ada bayangan wanita, atau di Arabia melihat singa.

Kenapa kelinci? Di Jepang ada cerita turun temurun bahwa ada kelinci yang tinggal di bulan. Dan ini sebetulnya berasal dari cerita agama Buddha seperti begini:

Dahulu kala kelinci, rubah dan monyet. Suatu hari mereka bertemu seorang kakek tua yang lelah dan kelaparan. Kemudian mereka bertiga mengumpulkan makanan untuk si kakek. Monyet pergi ke gunung dan mengumpulkan buah. Rubah pergi ke sungai dan mengambil ikan. Kelinci mencari dan mencari, tapi tidak mendapat apa-apa. Karena tidak mendapat apa-apa, kelinci kemudian berkata, “Silakan makan saya!”, dan dia terjun ke api, supaya dagingnya bisa dimakan oleh si kakek. Rupanya si kakek adalah Taishakuten, (Shakra, Mahadewa) yang hendak menguji ketiganya. Terharu pada kelinci, Taishakuten mengirim kelinci ke bulan, supaya menjadi teladan semua orang.

Sedih ya… saya juga baru tahu cerita kelinci yang sedalam ini. Tapi kenapa kelinci harus membuat mochi di bulan? Ada versi yang mengatakan bahwa si kelinci membuat mochi untuk si kakek, atau supaya si kelinci tidak akan kelaparan. Tapi yang paling masuk di akal adalah bahwa Festival Mid Autumn itu merayakan panen, yaitu beras. Dan mochi berasal dari beras. Dilambangkanlah beras menjadi mochi dalam legenda turun temurun di masyarakat Jepang. Kita bisa mengakui bahwa Jepang memang membawa unsur-unsur penting kehidupan manusia dalam kebudayaannya, dan menghargai setiap unsur sebagai suatu hadiah dari alam, jika tidak mereka katakan “Tuhan”.

Tulisan ini pernah dimuat di FB Grup “Wanita Indonesia Berkarya di Jepang” dengan sedikit perubahan.

Advertisement
 
Leave a comment

Posted by on September 23, 2021 in Uncategorized

 

Buta Huruf atau Melek Huruf?

Hari ini tanggal 8 September merupakan International Literacy Day, yang ditetapkan pada tahun 1966 oleh UNESCO setelah diadakannya konferensi pemberantasan buta huruf di Teheran, Iran (8- 19 September 1965). Ditetapkan menjadi hari literasi internasional itu supaya menjadi pengingat pentingnya pengentasan buta huruf di dunia.

Dalam bahasa Indonesia International Literacy Day ini diterjemahkan menjadi Hari Literasi Sedunia. Tetapi ada pula yang menerjemahkan menjadi Hari Aksara Internasional. Apakah literasi dan aksara sama?

Menurut KBBI aksara itu sama dengan huruf. Sedangkan penjelasan literasi adalah kemampuan menulis dan membaca, atau penggunaan huruf untuk mempresentasikan bunyi atau kata. Memang, tanpa aksara kita tidak akan dapat baca dan tulis.

Dalam Bahasa Jepang istilah “buta huruf” disebut 文盲 もんもう Monmo TETAPI di Jepang tidak memakai lagi istilah ini. Ingat, kan, masalah Sabetsu yogo 差別用語 yang pernah saya tulis? Kata-kata diskriminatif.  Karena 盲 itu dibaca めくら buta, jadi huruf 盲 itu sendiri menjadi huruf yang diskriminatif.

Waktu saya akan menulis thesis, saya mencari istilah buta huruf, dan tentu menemukan kata Monmo itu. Oleh dosen saya, harus diganti menjadi 識字 しきじ shikiji atau melek huruf. Tentu dia menjelaskan soal sabetsu yogo itu, tapi maklum baru datang ke Jepang, jadi tidak nyantol deh penjelasannya. Nah karena saya mau menulis tentang tingkat buta huruf (文盲率Monmoritsu), saya harus mengganti istilahnya dengan tingkat melek huruf/ literasi (識字率Shikijiritsu) daaaaaan menghitung semua angka kebalikannya tentu. Semua datanya kan angka buta huruf, bukan angka melek huruf :D, repot deh.

Di situ saya juga menyempurnakan skripsi saya tentang Terakoya, dengan angka-angka yang baru saya temukan. Sedikit info mengenai tingkat melek huruf di Jepang, pada saat Restorasi Meiji 1868 saja, sudah tinggi. Ada seorang Inggris yang mengatakan “Setiap saya berjalan ke mana-mana di Jepang, saya melihat orang Jepang membaca!”. Memang banyak faktor yang mendukung tingginya tingkat melek huruf di Jepang, antara lain dengan penyebaran Terakoya di seluruh negeri. Terakoya ini adalah tempat belajar yang hanya mengajarkan yomi kaki soroban 読み書きそろばん baca, tulis, hitung (dengan swipoa/sempoa). Memang sih, pendidikan dasar kan memang hanya 3 ilmu itu, dan ini menjadi penekanan dalam pendidikan di Jepang bahkan sampai sekarang. Selain itu, penyebaran tulisan terjadi dengan adanya kegiatan penulisan kembali dokumen-dokumen sejak lama, bahkan sebelum ada mesin cetak.

Namun, saya juga menyadari bahwa tingkat melek huruf itu tergantung pada negaranya, ya. Kalau memakai standar alfabet, mungkin tingkat literasi orang Jepang akan menurun. Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah perkumpulan orang asing (berbahasa Inggris) yang menunjukkan aib orang Jepang yang tidak bisa menulis kata-kata bahasa Inggris dengan benar, atau salah menerjemahkannya dengan foto-foto. Judulnya saja Engrish in Japan. Awalnya sih ikut tertawa melihatnya, tapi lama kelamaan kok seperti dibuat-buat, dibesar-besarkan. Bagaimanapun juga mereka sudah berusaha untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, kan?

Sama saja dengan orang Indonesia yang tinggal di Jepang tetapi tidak bisa baca tulis. “Buta huruf deh kalau di Jepang!” Ini sering saya dengar. Mungkin sama kalau saya ke Korea atau ke Rusia :D. Saya harapkan orang Indonesia di Jepang, yang sudah pasti akan tinggal lama, untuk belajar paling sedikit bisa baca tulis hiragana, deh. Masih untung lo sekarang banyak huruf romawi (alfabet) di mana-mana. Berlainan dengan 20-30 tahun yang lalu.

Oh ya, saya mau cerita bahwa dalam acara Rumah Budaya Indonesia yang lalu, seorang Jepang memakai aksara Jawa hanacaraka dengan fasih. Saya bukan orang Jawa, sehingga wajar kalau saya tidak bisa. Namun seberapa banyak orang Jawa bisa membaca dan menulis aksara Jawa tersebut? Tingkat melek huruf Jawa pasti kecil, ya? Dan ini berlaku pula untuk semua bahasa yang memiliki tulisan khusus.

Tingkat literasi di Indonesia sekarang menurut data 92,8% Jepang 99%, tapi yang terendah 27% yaitu Sudan Selatan dan 28,1% Afganistan. Kalau mengingat SGD’s maka literasi masih menjadi masalah dunia yang harus dipikirkan semua warga dunia.

Tulisan ini pernah dimuat di FB Grup “Wanita Indonesia Berkarya di Jepang” dengan sedikit perubahan.

 
1 Comment

Posted by on September 8, 2021 in Uncategorized

 

KUJI

KUJI! Siapa yang tahu kanjinya? 

Mungkin banyak yang menebak: 九時 くじJam 9 ya?

Hari ini tanggal 2 September, tgl 9/2 kalau penulisan cara Jepang, jadi mesti berhati-hati kalau meringkas tulisan tanggal ya. Jangan 2/9 karena itu dibaca orang Jepang 9 Februari!

Nah tanggal 9/2 bisa dibaca KUJI (2 ニ itu bisa dibaca : ni, futatsu, dan ji seperti pada nama JIRO yang kanjinya 二郎) . Kuji yang diperingati tanggal 2 September itu adalah KUJI dari TAKARAKUJI 宝くじ, undian berhadiah yang ditetapkan oleh Bank Daiichikangyo (Sekarang Mizuho). Dulu sekali di Indonesia pernah ada yang namanya SDSB (SDSB, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, merupakan kupon berhadiah bagi para pembelinya. Kupon yang mirip voucher ini didalamnya terdapat nomer seri dan angka. Intinya Anda menebak, kalau tebakan Anda benar, Anda dapat hadiah.) yang kemudian dihentikan oleh pemerintah Indonesia tahun 1994, ya karena dianggap sebagai judi.

Saya, sebagai orang Indonesia yang baik (ciee), belum pernah beli undian. Jadi waktu awal kedatangan di Jepang, saya tinggal bersama keluarga Jepang, nenek di keluarga itu minta tolong saya beli 10 lembar takarakuji (@300 yen). Katanya,”Imelda, saya mau beli takarakuji tapi tidak bisa beli sendiri. Ini uang 3000 yen, kamu tolong belikan ya. Mungkin bisa beruntung dapat kalau kamu yang beli”. Jadilah saya membawa uang 3000 yen itu ke loket penjualan takarakuji dong.

Begitu sampai di depan loket:

“Takarakuji Ju mai kudasai” (Minta takarakuji 10 lembar)

“Bara? Renban?”

Nah loh, saya bengong. Bahasa Jepang saya belum sampai situ. Bara? Oh mungkin yang kertasnya ada gambar mawar ya? Renban… mbuh lah, saya Cuma tahu Rembang nya Jepara! Jadilah saya bilang:

“Bara 10 mai”

Begitu pulang, saya diberitahu bahwa lebih baik membeli Renban 連番 (nomornya berurutan) daripada bara バラ (nomor acak), karena Renban itu kesempatan tosen 当選 とうせん terpilihnya lebih besar. Baru tahu bahwa bara itu dari bara-bara (berserakan) 😃 Gimana sih orang Jepang kok singkat-singkat aja! hihihi

Lalu takarakuji yang saya beli bagaimana ceritanya? Saya tidak tahu karena tidak tanya. Tapi sepertinya sih tidak lolos deh. Tapi peristiwa membeli takarakuji itu membuat saya penasaran, uang takarakuji itu untuk apa ya? Ternyata banyak dipakai untuk pembangunan fasilitas umum, termasuk membiayai penanganan pertambahan manula, bencana, taman, pendidikan, kesejahteraan dan lain-lain.

Kemudian saya jadi penasaran dengan kata KUJI, karena tentu bukan kata takarakuji saja yang mengandung kata KUJI ini. Yang paling sering dipakai adalah KUJI wo hiku くじを引く(menarik undian) atau KUJIBIKI. Misalnya pada pemilihan pengurus PTA (Parent Teacher Assosiation) di sekolah. Tidak ada yang mau menjadi pengurus, sehingga harus memilih dengan cara mengundi. Saya pernah menjadi pengurus PTA karena terpilih dengan undian dan tidak bisa menolak deh.

Dan sebetulnya penarikan undian juga bentuknya bisa bermacam-macam. Ada yang dengan menulis nama/nomor di kertas, kemudian diambil satu orang. Ini lazim juga dilakukan di Indonesia. Tapi ada satu cara “pemilihan” itu yang saya rasa menarik, yaitu AMIDAKUJI あみだくじ. Cara pemilihan khas Jepang. (Namanya saja AMIDA sebutan untuk Sang Buddha).

Misalnya untuk memilih pengurus secara seimbang, bilang saja memilih seksi kebersihan, seksi konsumsi dan seksi acara, 3 jenis pekerjaan untuk 3 orang. Kita menuliskan 3 nama di atas, lalu 3 jenis pekerjaan di bawah, lalu antara orang dan pekerjaan dihubungkan dengan garis vertikal, dan masing-masing orang menarik garis horisontal sesukanya. Ntah mengapa, sebanyak apapun garis horisontalnya, pasti setiap orang akan mendapatkan pekerjaan yang berbeda. (Maaf mungkin kurang bisa dimengerti dengan kata-kata dan lebih baik dipraktekkan).

Tapi yang paling menarik adalah kata OMIKUJI 御神籤 pun berasal dari KUJI. Memang sih arti KUJI 籤 (susyahlah kanjinya!) sesungguhnya adalah memilih. Kalau pakai kata mengundi kesannya bagaimana gitu. Bagi yang pernah membeli OMIKUJI di kuil Jepang, pasti tahu ya, kita memasukkan uang, lalu mengocok tabung yang berisi batang bambu bernomor. Lalu kita lihat batang yang keluar dari lubangnya nomor berapa. Kemudian kita ambil kertas dari laci bernomor yang tertera pada batang pilihan kita. Tapi tentu kemungkinan untuk mendapatkan daidaikichi 大大吉 (silakan baca di sini) itu keciiiiiiil sekali (maksudnya amat sangat kecil :D)

Dari sekian banyak KUJI yang saya tuliskan, KUJI yang mana yang sudah pernah coba? Belum semua?

Hmmm mungkin sudah loh, yaitu dengan cara BINGO (dalam bahasa Jepang disebut BINGO KUJI) dan BINGO game ini menarik sekali! Apalagi kalau kartu yang kita bagikan itu masih kosong semua, sehingga bisa tulis angka sesukanya. Saya pernah bawa dan mainkan di keluarga besar saya, dan semua senang. SERU!

amidakuji

Tulisan ini pernah dimuat di FB Grup “Wanita Indonesia Berkarya di Jepang” dengan sedikit perubahan.

 
Leave a comment

Posted by on September 2, 2021 in Uncategorized

 

Mitigasi Bencana

Hari ini tanggal 1 September adalah hari Mitigasi Bencana, Disaster Prevention Day atau bahasa Jepangnya Bousai no Hi 防災の日.  Mengapa ditetapkan tanggal 1 September? Karena pada tanggal ini di tahun 1923 pukul 11:58 siang telah terjadi Gempa bumi besar Kanto yang banyak menelan korban 142.500 korban meninggal/hilang.

Sudah pernahkah teman-teman mengikuti 避難訓練ひなんくんれんhinan kunren latihan-latihan mitigasi bencana? Memang selama pandemi tidak ada, ya. Padahal bencana itu bisa terjadi sewaktu-waktu. Saya ingat waktu mengikuti latihan bencana di sebuah universitas. Saya sebagai dosen, begitu terdengar alarm, harus mengumumkan: “Ayo, berlindung di bawah meja!”. Lalu memerintahkan mahasiswa untuk mengikutiku, menuruni lantai 3 ke tempat pengungsian yang sudah ditetapkan, yaitu lapangan di sebelah gedung 10. Sebagai tanda “terima kasih”  kami menerima nasi dan biskuit tahan lama yang bisa disimpan 6 bulan. Tapi yang sempat membuat saya tertegun waktu mendengar dari kepala pelatihan yang mengatakan bahwa sebetulnya setelah latihan mengungsi ini, ada beberapa acara yang dilakukan di depan kampus, termasuk latihan pemadam kebakaran dan pengungsian dalam ruangan berasap (tahun lalu saya pernah ikut ruangan berasap ini). TETAPI ternyata semua unit pemadam kebakaran yang sedianya dipakai untuk latihan di universitas, dipanggil karena ada kebakaran sungguhan yang cukup besar sehingga semua unit dipanggil. Nah, kan. Bencana bisa terjadi setiap saat.

Biasanya untuk anak SD/SMP ada latihan bersama setiap bulan, bersama guru dan kepala sekolah. Saat itu ibu-ibunya tidak bisa ikut, tapi ada latihan yang namanya 引き渡し訓練 ひきわたしくんれんHikiwatashikunren. Latihan penyerahan anak (dari pihak sekolah) kepada orang tua. Orang tua diharapkan (tidak wajib, sih) menjemput anaknya masing-masing. Saat itu kami orang tua harus menyebutkan nama murid dan hubungan apa (ibu/bapak/nenek/kakek) dengan sang anak. Ini supaya guru tidak menyerahkan pada orang yang salah, atau bisa menjawab jika ditanya anak ini dijemput siapa.

Satu lagi pengalaman saya mengikuti latihan di SMP. Karena saya sekretaris PTA waktu itu, wajib ikut dan membantu sekolah dalam latihan tersebut. Tugas kami adalah memasak nasi Alphaアルファ米 Alfamai. Nasi Alpha ini cukup diberi air panas dan ditunggu 15 menit, jadi! Saya pernah punya ukurannya kecil, ukuran 1 orang. Ternyata ada yang ukuran besar, untuk dapur umum. Satu kantung besar untuk 50-60 orang. Karena kami ada 4 kelompok jadi waktu itu membuat nasi untuk 300 orang! Kantung besar itu diletakkan dalam satu kardus besar. Setelah nasi itu jadi, kami masukkan dalam plastik untuk dibagikan.

Nah, waktu membuat nasi Alpha ini, ada satu yang saya perhatikan. Waktu membuka kardus ada plastik alumunium berisi beras. Dan di dalam kardus itu tersedia pula sarung tangan plastik, plastik untuk pembagian nasi, sendok kecil, karet gelang untuk menutup plastik, dan yang menakjubkan ada juga GUNTING DARI KERTAS. Gunting itu cukup memadai untuk membuka plastik itu. Hebat ya, orang Jepang itu memikirkan semuanya sampai ke detail begitu. Bayangkan kalau dalam bencana mau buka plastik tapi tidak bisa. Sampai ke situ loh dipikirkan, dibayangkan dalam simulasi.

 
Leave a comment

Posted by on September 1, 2021 in Uncategorized